Selasa, 06 Juli 2010

Sejarah Prabu Kiansantang

Blog EntryPrabu Kiansantang

Kota Garut merupakan ibu-kota wilayah Priangan Timur yang terkenal dengan alamnya yang asri, pegunungan yang indah, hawanya sejuk-segar, tanahnya subur, penduduknya peramah dan alim. Pengaruh dari ajaran-ajaran Islam terhadap penduduk Garut bekembang dengan mendalam, sebagai peninggalan sejarah penyebaran agama Islam antara lain adanya makam Godog yang dikatakan sebagai makam keramat; yaitu makam Prabu Kiansantang penganut agama Islam yang pertama dari Kerajaan Pajajaran.

Sejarah kota Garut dapat ditelusuri dari hadirnya Kerajaan Zaman Hindu di Jawa Barat yang pertama, yaitu Tarumanegara (didirikan pada tahun 400). Kemudian muncul Kerajaan Galuh (1249-1333), Kerajaan Pajajaran (1333-1579) yang meliputi daerah Jawa Barat (Pasundan) dengan Rajanya yang terkenal yakni Prabu Siliwangi berkedudukan di Pakuan (Bogor). Berkembangnya Islam di pulau Jawa lambat laun memasuki kalangan Keraton, sehingga menjadi tanda pergantian zaman, dari Zaman Hindu ke Zaman Islam.

Putra Prabu Siliwangi yang bernama Kiansantang, terkenal gagah perkasa dan sebagai putera mahkota yang pertama memeluk agama Islam, telah menyebarkan agama Islam sampai ke daerah Garut. Tempat yang terkenal sebagai pusat penyebaran agama Islam di Garut disebut daerah Suci, makam Prabu Kiansantang berada di daerah Godog dilereng Gunung Karacak, sehingga beliau disebut dengan nama ÒSunan Godog atau Sunan RochmatÓ. Makam tersebut dianggap keramat, pada setiap bulan maulud banyak orang yang ber-ziarah.

Terdapat bekas tempat tinggal (Patilasan) Kiansantang pada saat menyebarkan agama Islam di daerah Garut selatan (di Gunung Nagara Desa Depok), yang dianggap sebagai keramat. Bahkan ada cerita karena kesaktiannya, maka rakyat yang tidak mau memeluk Agama Islam ditenung (disantet) dengan tongkatnya kemudian seketika menjadi Harimau, (alkisah dikabarkan mereka yang tidak mau memeluk agama Islam, lari ke hutan yang disebut dengan Leuweung Sancang). Peninggalan Kiansantang yang saat ini masih ada yaitu : (1) Quran di Balubur Limbangan, (2) Keris (Duhung) di Cinunuk Hilir (Wanaraja), (3) Tongkat di Darmaraja, (4) Kandaga (Peti) di Godog.

Lahirnya Garut sebagai salah satu kota tempat penyebaran agama Islam, diawali dengan munculnya pesantren pada saat hadirnya Sjech Kamaludin keturunan Sunan Gunung Jati Cirebon (1552-1570), sebagai Demang (Wedana) Timbanganten, mendapat julukan ÒSembah Dalem Sjaechuna TimbangantenÓ, beliau memberikan ajaran agama Islam .Kemudian murid-muridnya membuka pesantren di berbagai tempat di Garut.

Kabupaten Limbangan merupakan cikal-bakal lahirnya Kabupaten Garut, dijaman yang lampau Balubur Limbangan mengalami zaman keemasan yang gilang-gemilang, subur-makmur, aman dan tentram; maka Balubur Limbangan menjadi catatan para sejarahwan dan tidak mudah dilupakan orang, karena kecakapan pemerintahnya, dapat menjalankan, memperhatikan keseimbangan di segala bidang dan dapat mengikuti perkembangan syiar Islam yang dilakukan oleh pemerintah Cirebon, Limbangan saat itu dikenal dengan wilayah yang mempunyai daya kekuatan batin.

Nama Limbangan berasal dari kata ÒImbanganÓ yang berarti memiliki kekuatan batin, pada abad dimana Islam sedang pesatnya mengalir ke setiap pelosok tanah air Indonesia, Limbangan dipimpin oleh seorang bupati, sebagai wakil dari Syarif Hidayat (1552-1570). Awalnya pemegang kekuasaan limbangan adalah Dalem Prabu Liman Sendjaya cucu dari Prabu Siliwangi dan anak dari Prabu Lajakusumah. Prabu Liman Sendjaja diganti oleh anaknya yang bernama Raden Widjajakusumah I, yang lebih dikenal julukan Sunan Dalem Cipancar.

Mulai dari Raden Widjajakusumah ke-1 ini, Bupati Limbangan yang dikenal dengan Bupati Galih Pakuan sangat termasyhur akan kebijaksanaannya dalam memimpin, tentang kecakapan mengatur pemerintahan, peribahasa Sunda (Dinas P dan K Kabupaten Garut : 1963) mengatakan Sepi Paling Suwung Rampog, Hurip Gusti Waras Abdi (aman, tentram dan damai).

Bupati Widjajakusumah sebagai pemuka tabir bahwa Balubur Limbangan mempunyai kekuatan batin. Syahdan Kepala daerah Cirebon, Syarif Hidayat. Pada suatu saat beliau memerintahkan kepada semua bupati untuk menghadiri rapat bupati di Cirebon, seluruh bupati diwajibkan hadir tepat waktu, bila ada yang melalaikan perintah Syarif Hidayat, maka akan dikenakan hukuman mati.

Upaya tersebut merupakan penanaman disiplin bagi aparatur negara pada waktu itu. Maksud dari yang terpenting dari kumpulan itu, guna menjelaskan tentang keunggulan ajaran agama Islam. Pada saat itu ditegaskan bahwa sebagai penganut Islam, harus berjanji untuk menjalankan segala perintah agama dan tidak akan bertentangan dengan hukum-hukum serta menurut perintah Tuhan.

Perjalanan dari Limbangan menuju Cirebon saat itu sangat sulit, oleh karena itu Bupati Galihpakuan, Raden Widjajakusumah datang terlambat pada acara rapat tersebut. Sesampainya di Pendopo, Bupati Galihpakuan ditangkap oleh para algojo yang bertugas, dan akan dibunuh dengan mempergunakan senjata miliknya, namun ketika keris ditusukkan pada tubuh Bupati Raden Widjajakusumah, tiba-tiba semua algojo itu terjatuh lemas ke tanah.

Seluruh isi Pendopo menjadi panik, hingga rapat terganggu dan dihentikan untuk sementara waktu, Syarif Hidayat keluar dan menjumpai para algojo, beliau menanyakan sebab-sebab kejadian ini, maka para algojo menjelaskan, bahwa saat menjalankan tugas dari beliau untuk menghukum Bupati Galihpakuan yang datang terlambat, mereka tidak berdaya. Syarif Hidayat menoleh kepada Bupati Galihpakuan, maka mengertilah bahwa bupati yang bersalah itu seharusnya dihukum dengan tidak mengenal pangkat, teman atau saudara.

Bupati Galih pakuan dengan iklas mempersembahkan kerisnya kepada Syarif Hidayat, guna menjalani hukuman. Setelah keris berada ditangan Syarif Hidayat, maka terlihatlah lapadz Quran ÒLaa Ikrooha FiddiinÓ, yang terukir pada keris tersebut, maka Syarif Hidayat memahami, bahwa orang yang diizinkan memakai keris tersebut adalah orang yang sangat berjasa, karena keris tersebut adalah senjata pusaka dari Prabu Kiansantang Pendekar Agama Islam. Keris itu dapat dipandang sebagai bintang perjuangan dalam menyebarkan agama Islam.

Akhirnya Syarif Hidayat tidak jadi membunuh Bupati Galihpakuan dan mengumumkan kepada semua bupati dalam rapat, bahwa Bupati Galihpakuan tidak jadi dibunuhnya karena beliau merupakan orang yang sangat berjasa dalam penyebaran agama Islam, terbukti dengan memilikinya Senjata Pusaka. Dijelaskan pula oleh beliau bahwa keterlambatannya bukan berarti melalaikan undangannya, tetapi karena disebabkan sulitnya perjalanan. Diumumkan pula, bahwa sejak hari ini nama Bupati Galihpakuan diganti dengan nama Bupati Limbangan yang berarti bahwa Galihpakuan telah mengimbangi Cirebon dalam syiar Islam.

Nama Limbangan saat ini masih ada dan Senjata Pusaka pun masih ada pada keturunan Raden Wangsa Muhammad alias Pangeran Papak di Cinunuk Kabupaten Garut. Dalam sejarah Kabupaten Limbangan disebutkan bahwa Bupati Limbangan yang berkedudukan di Limbangan, yang terakhir adalah Bupati Raden A.A. Adiwidjaja.

Pada tahun 1812 di tetapkan bahwa kedudukan bupati di pindahkan ke daerah distrik Suci, di suatu kampung yang sunyi-senyap yaitu Garut. Semula Ibu Kota akan dipindahkan di daerah Karangpawitan, namun tidak memiliki sumber air sehingga tidak terpilih, maka tempat itu disebut pidayeuheun.

Sebagai lazimnya setiap nama tempat memiliki riwayat, begitupun Garut mempunyai riwayat sebagai berikut; Sebelum Garut menjadi tempat tinggal (perkampungan), orang yang menemukan tempat itu tertarik oleh tanahnya yang datar dan mempunyai pemandangan indah yang dikelilingi oleh gunung-gunung. Ditengah-tengah dataran itu terdapat sebuah mata air yang merupakan telaga kecil tertutup oleh semak belukar yang berduri, dari mata air yang merupakan telaga kecil itu mengalir sebuah anak sungai kecil.

Pada saat orang yang menemukan telaga kecil itu akan mengambil air, tangan mereka tergores (kagarut) rerumputan hingga berdarah. Kemudian semak-belukar tersebut dinamainya Ki Garut. maka telaganyapun diberi nama Ci-Garut. Semak belukar tersebut secara bergotong-royong dibersihkan dan kemudian dibangun menjadi kota Kabupaten Limbangan yang baru.

Pembangunan perumahan, jalan-jalan dan segala fasilitas lainnya, selesai tanggal 1 April tahun 1813. Sejak itulah Kota Garut menjadi Kota Kabupaten. Bupati Garut yang pertama adalah Raden A.A. Adiwidjaja, yang kemudian mendapat julukan Dalem Cipeujeuh, karena dimakamkan di Cipeujeuh.

Adat-istiadat rakyat yang selalu hormat setia kepada kepala daerahnya mulai kepada Lurah (Kepala Desa) sampai kepada Bupati dengan mendapat sebutan : Juragan, Gamparan sampai Kangjeng, ditiru pula dalam hubungan antara buruh dan tuan-kuasa anderneming, mendapat panggilan Kangjeung Tuan Besar.

Majunya perusahaan Asing (perkebunan) memerlukan pegawai Indonesia rendah yang pandai membaca dan menulis (antara lain untuk menjadi mandor, Juru Tulis). Tahun 1872 didirikan sekolah yang lamanya tiga tahun, jumlah sekolah pada waktu itu hanya sedikit demikian pula muridnya. Rakyat lebih tertarik untuk mengikuti pendidikan pesantren dari pada bersekolah.

Pada Tahun 1900 diadakan sekolah Kelas Satu yang lamanya lima tahun, Pada tahun 1907, Sekolah Kelas Satu menjadi enam tahun dan ditambah dengan pelajaran bahasa Belanda, Murid yang diterima masuk kesekolah Kelas Satu itu hanya keturunan kaum bangsawan saja. Untuk rakyat kebanyakan di adakan sekolah Kelas Dua lamanya empat tahun.Pada tahun 1914 sekolah Kelas Satu dirubah menjadi H.I.S., bahasa pengatarnya bahasa Belanda dan kepala sekolahnya orang Belanda, sedangkan untuk anak-anak Belanda sendiri didirikan sekolah Belanda.

Mengawali implementasi emansipasi perempuan dan kemitrasejajaran gender di Garut saat itu, isteri Bupati Garut Raden Ayu Lesminingrat mengikuti jejak Raden Dewi Sartika mendirikan sekolah Kautamaan Isteri pada tahun 1910 tempatnya di halaman Kabupaten. Pada tanggal 31 Juni 1931 di Garut berdiri cabang PASI (Pasundan Istri). Usaha Pasi sejak berdirinya sebagai berikut ; (1) tahun1933 mendirikan Consuntatie Bereau, (2) tahun 1933 mendirikan Bank Pasi mendapat hak Badan Hukum tahun 1936, tahun 1936 mendirikan Badan Kematian dan Verbruik Cooperatie. Dalam aksi-aksi Pasi tidak ketinggalan, tahun 1934 mengadakan rapat umum menuntut supaya di Volksraad ada perwakilan perempuan. Tahun 1939 mengadakan rapat umum bersama-sama dengan Gapi bertempat di Gedung Taman Siswa Garut untuk menuntut Indonesia berparlemen.

Uraian tentang sejarah Garut tersebut menunjukkan bahwa Garut sebagai salah satu daerah pusat penyebaran agama Islam telah menjadikan masyarakatnya terinternalisasi oleh nilai-nilai Islam dan sebagai bekas pemerintahan jaman kerajaan pun, masyarakatnya masih menghargai dan membanggakan perbuatan terpuji yang telah dilakukan leluhurnya, seperti Prabu Kiansantang. Disamping itu aktifitas pemberdayaan perempuan tercermin dari realitas emansipasi perempuan dalam kegiatan organisasi Pasundan Istri yang diprakarsai ole istri Bupati Garut pada tahun 1910.

Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang; Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan

Oleh ASEP AHMAD HIDAYAT

BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.

Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).

Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau juga disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi seperti ini sangat membingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut.

Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih kurang. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.

Sumber-sumber Sejarah

SEBENARNYA banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai bagaimana proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber tersebut berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun temurun, misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan Sayyidina Ali” atau cerita tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung Bodas” dan lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang terpenting yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.

Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.

Tokoh Cakrabuana

BERDASARKAN sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.

Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.

Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.

Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.

Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).

Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).

Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.

Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.

Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.

Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.

Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.

Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.

Tokoh Kian Santang

SEBAGAIMANA halnya dengan prabu Siliwangi, Kian Santang merupakan salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda bagian pedalaman.

Sampai saat ini terdapat beberapa versi mengenai tokoh sejarah yang satu ini. Bahkan tidak jarang ada juga yang meragukan tentang keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber sejarah yang akurat faktual dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu pendapat semacam ini adalah sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam mengambil kesimpulannya. Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan bahan penelitian lanjut mengenai tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah lisan, tulisan, maupun benda-benda sejarah. Salah satunya adalah patilasan Kian Santang di Godog Garut, atau Makam Kian Santang yang berada di daerah Depok Pakenjeng Garut. Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu adalah merupakan tugas sejarawan untuk memilahnya, bukannya memberi generalisir yang membabi buta, seolah-olah dalam seluruh mitologi tidak ada cerita sejarah yang sebenarnya.

Sampai saat ini terdapat empat sumber sejarah (lisan dan tulisan) yang menceritakan tentang sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat legendaris itu. Keempat sumber itu, ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah Godog yang diceritakan secara turun menurun; (3) P. de Roo de la Faille; dan 4) Babad Cirebon karya P.S. Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat mengenai perjalanan dakwah Kian Santang, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding kekuatan gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut tongkat yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang membaca kalimat Syahadat.

Di dalam cerita lisan lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang adalah putera raja Pajajaran yang masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk Islam dan setelah kembali ia memakai nama Haji Lumajang. Cerita lainnya lagi mengatakan bahwa Prabu Kian Santang mengajar dan menyebarkan agama Islam di Pajajaran dan mempunyai banyak pengikut; dan banyak pula putra raja yang masuk Islam; bahwa Prabu Kian Santang diusir dari keraton dan tidak lagi menganut agama nenek moyangnya dan menghasut raja Pajajaran, bahwa ia akhirnya pergi ke Campa sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh.

Dari cerita rakyat tersebut terdapat alur logis yang menunjukkan kebenaran adanya tokoh Kian Santang sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Misalnya alur cerita tentang “Haji Lumajang” atau ia pergi ke Campa ketika kerajaan Pajajaran runtuh. Atau istilah Pajajaran itu sendiri yang sesuai dengan data arkeologi dan sumber data yang lainya seperti Babad tanah Cirebon dan lainnya.

Adapun mengenai pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh jadi nama tersebut bukanlah menantu Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M, melainkan seorang syekh (guru) tarekat tertentu atau pengajar tertentu di Mesjid al-Haram. Jika sulit dibuktikan kebenarannya, maka itulah suatu bumbu dari cerita rakyat; bukan berarti seluruh cerita itu adalah mitos, tahayul, dan tidak ada buktinya dalam realitas sejarah manusia Sunda.

Sejalan dengan cerita rakyat di atas, P. de Roo de la Faille menyebut bahwa Kian Santang sebagai Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti fisik berupa satu buah al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan, sebuah skin (pisau Arab) yang berada di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah tongkat yang berada di Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang berada di Godog Karangpawitan Garut.

Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun yang menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1) Saharepen Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung, 8 ) Panengah, 9) Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya.

Dari seluruh cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa Kian Santang merupakan salah seorang putra Pajajaran, yang berasal dari wilayah Cirebon dan merupakan seorang penyebar agama Islam di Pajajaran. Kesimpulan ini dapat dicocokkan dengan berita yang disampaikan oleh P.S. Sulendraningrat yang mengatakan bahwa pada abad ke-13, kerajaan Pajajaran membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing diperintah oleh seorang raja. Di antaranya adalah kerajaan Sindangkasih (Majalengka) yang diperintah oleh Sri Baduga Maharaja (atau Prabu Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu Prabu Jaya Dewata menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya, sampailah ia di Pesantren Qura Karawang, yang pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin (ulama dari Campa) keturunan Cina. Di pesantren inilah ia bertemu dengan Subang Larang, salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak dipersunting dan menjadi ibu dari Pangeran Walangsungsang, Ratu Lara Santang, dan Pangeran Kian Santang.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang merupakan salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan yang diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan agama Islam pada tahun 1445 di daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi, raja terakhir Pajajaran. Ia berasal dari wilayah Cirebon (Sindangkasih; Majaengka), yaitu ketika bapaknya masih menjadi raja bawahan Pajajaran, ia melarikan diri dan menyebarkan Islam di wilayah Pasundan (Priangan) dan Godog, op groundgebied. Limbangan merupakan pusat penyebaran agama Islam pertama di Tatar Sunda (khususnya di wilayah Priangan). Selain di Godog pada waktu itu, sebagian kecil di pantai utara sudah ada yang menganut Islam sebagai hubungan langsung dnegan para pedagang Arab dan India.

Mula-mula Kian Santang mengislamkan raja-raja lokal, seperti Raja Galuh Pakuwon yang terletak di Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar) atau Prabu Wijayakusumah (1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan Hande Limasenjaya dan cucu dari Prabu Layangkusumah. Prabu Layangkusumah sendiri adalah putra Prabu Siliwangi. Dengan demikian Sunan Pancer merupakan buyut Prabu Siliwangi. Kian Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah al-Qur;an berkukuran besar dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an la ikroha fiddin. Berkat Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah Galuh Pakuwon, sisi kerajaan terakhir Pajajaran.

Para petinggi dan raja-raja lokal lainnya yang secara langsung diIslamkan oleh Kian Santang di antaranya, ialah (1) Santowan Suci Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat makam Kian Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan Batuwangi yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi tombak oleh Kian Santang dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan ada di Tasikmalaya.

Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan. Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).

Tokoh Syarif Hidayatullah

SEPERTI telah diuraikan di atas bahwa ketika selesai menunaikan ibadah haji, Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh kakaknya (Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa kota Mesir dari klan al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah putera dari Nurul Alim atau Ali Burul Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat Zainal Abidin (buyut Fadhilah Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar, yaitu ayah dari Ali Rahmatullah atau raden Rahmat atau Sunan Ampel (Yuyus Suherman, 1995:14). Nurul Alim, Barkat Zainal Abidin, dan Ibrahim Zainal Akbar merupakan keturunan Rasulullah saw. Nurul Alim menikah dengan puteri penguasa Mesir (wali kota), karena itulah Syarif Abdullah (puteranya) menjadi penguasa (wali kota) Mesir pada masa dinasti Mamluk. Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan Nyi Mas Larasantang melahirkan dua putera yaitu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang lahir di Mesir.

Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-Hikam, masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta kerajaan Islam Pakungwati.

Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia singgah selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di Gujarat ia mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya. Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama dua tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh Sayyid Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya menyebarkan Islam di sana.

Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih merupakan wilayah kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di Cirebon. Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman (ua; Sunda) dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan Mayang Sunda, puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh (Kawali Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali Galuh-Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga Maharaja (lihat Didi Suryadi, Babad Limbangan, 1977:46).

Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran. Sudah tentu, sikap ini mengundang kemarahan Prabu Jaya Dewata dan berusaha mengambil alih kembali Cirebon. Namun penyerangan yang dilakukan Prabu Jaya Dewata tidak berlangsung lama. Dikatakan bahwa Prabu Jaya Dewata mendapatkan nasihat dari para Purohita (pemimpin agama Hyang) yang menyatakan bahwa tidak pantas terjadi pertumpahan darah antara kakek dan cucunya. Lagi pula berdirinya Cirebon pada dasarnya merupakan atas jerih payah putera darah biru Pajajaran, yaitu Pengeran Cakrabuana.

Pada tanggal 13 Desember 1521 M, Prabu Siliwangi mengundurkan diri dari tahta kerajaan Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Sebagai penggantinya adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada bukan Agustus 1522 M dengan gelar Sanghyang. Pangeran Surawisesa inilah yang secara resmi melakukan perjanjian kerjasama dengan Portugis yang naskah perjanjiannya ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M, berisi tentang kerjasama di bidang perdagangan dan pertahanan. Rintisan kerja sama antara Pajajaran dan Portugis itu telah dirintis sejak Prabu Jaya Dewata masih berkuasa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa pertama dalam sejarah diplomatik Nusantara, boleh dikatakan bahwa ia merupakan seorang raja dari Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik dengan orang-orang Eropa.

Perjanjian kerjasama antara Pajajaran dan Portugis itu telah menimbulkan kekhawatiran bagi kerajaan Demak dan Cirebon. Karena itulah pada tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak mengutus Fadhilah Khan (Fathailah atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama menguasai Sunda Kelapa yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan Pajajaran. Strategi ini diambil agar pihak Portugis tidak dapat menduduki pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak berapa lama pad atahun 1527 M Portugis datang ke Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita mendirikan benteng di Muara Kali Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun pasukan Portugis dipukul mundur oleh pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah bergelar Pangeran Jayakarta.

Banyak nama yang dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini, yaitu Pengeran Jayakarta, Fatahilah, Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase. Penisbahan nama terakhir terhadapnya karena ia berasal dari Samudera Pasai. Ia merupakan menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif Hidayatullah. Hal ini karena Faletehan selain menikah dengan Ratu Pembayun (Demak), ia juga menikah dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon, puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus yang gugur di Malaka (Yuyus Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan Cirebon, maka Faletehan memiliki kedudukan penting di lingkungan keluarga kedua keraton itu. Karena itulah, ketika Syarif Hidayatullah meninggal pada 19 September 1568 M, maka Faletehan diangkat menjadi pengganti Syarif Hidayatullah sebagai Sultan di Cirebon. Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean), putra Syarif Hidayatullah, mengundurkan diri dari tahta kerajaan Islam Cirebon. Muhammad Arifin sendiri lebih memilih menjadi penyebar Islam di tatar Sunda bagian utara dan sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Pasarean.

Ketika Faletehan naik tahta di Cirebon ini, saat itu, Jayakarta (Sunda Kelapa) diperintah oleh Ratu Bagus Angke, putra Muhammad Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri Banten. Namun Faletehan menduduki tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak lama, yakni hanya berlangsung selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun 1570 M. Ia dimakamkan satu komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni di Astana Gunung Jati Cirebon. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu.

Khatimah

DEMIKIANLAH sekilas mengenai uraian historis tentang peran Pangeran Cakrabuana, Kian Santang, dan Syarif Hidayatullah dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan dan temuan sementara yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.

Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di daerah pesisir utara Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang atau Adipati Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau Ki Samadullah atau Syeikh Abdul Iman, yang mendirikan kerajaan pertama Islam Pakungwati. Ia adalah ua dari Syarif Hdiayatullah.

Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada tahun 1425, dua puluh lima tahun sebelum lahir Sunan Gunung Jati dan Mualana Syarif Hidayatullah. Ia mulai menyebarkan agama Islam di Godog, Garut pada tahun 1445. Ia adalah penyebar Islam pertama di pedalaman tatar Sunda. Ia merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Ia disebutkan berasal dari wilayah Cirebon, tepatnya dari Kerajaan Sindangkasih (Majalengka).

Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah nama tokoh yang berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam usaha menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan.

Daftar Pustaka

  • Didi Suryadi. 1977. Babad Limbangan.
  • Edi S. Ekajati. 1992. Sejarah Lokal Jawa Barat. Jakarta: Interumas Sejahtera.
  • _________. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarahi). Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Hamka. 1960. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Nusantara.
  • Pemerintahan Propinsi Jawa Barat. 1983. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat.
  • Sulaemen Anggadiparaja. T.T. Sejarah Garut Dari Masa Ke Masa. Diktat.
  • Yuyus Suherman. 1995. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda. Bandung: Pustaka.

Senin, 05 Juli 2010

Makam Keramat Godog




perbesar...

Foto lainnya (1)

SKW : Makam Godog
Kecamatan : Karangpawitan
Jenis Wisata : Budaya
Daya Tarik : Makam, Peninggalan Sejarah
Jarak Tempuh : 14 km

Lingkungan Alam Fisik
Makam Keramat Godog merupakan objek wisata budaya peninggalan sejarah yang terletak di Desa Lebak Agung, dengan luas sekitar 1.5 ha.Jarak objek wisata ini ke ibukota kecamatan sejauh 5 km, ke ibukota kabupaten sejauh 14 km, dan ke ibukota propinsi 74 km.
Secara administratif batas kompleks makam Kramat Godog adalah sebagai berikut :
  • Utara : Desa Tanjung sari
  • Barat : Kec. Garut Kota
  • Selatan : Gunung karacak
  • Timur : Desa Suka Negla

Kompleks makam keramat ini dikelola oleh pemerintah daerah yang menetapkan retribusi sebesar Rp. 1.000 bagi para peziarah yang berkunjung. Untuk pengelolaan sehari-hari dilakukan oleh bapak H. Ahmad Endang yang bertindak sebagai juru kunci.

Aktivitas yang dapat dilakukan di Makam Keramat Godog ini adalah ziarah yang umumnya dilakukan pada hari besar agama Islam, seperti pada saat hari raya Idul Adha, Idul Fitri dan hari besar agama Islam lainnya.

Aspek Khusus
Di dalam kompleks Makam Keramat Godog terdapat 7 buah makam. Di ruang utama terletak makam Kian Santang, sedangkan makam Sembah Dalem Sareupan Sucim, makam Sembah Dalem Sareupan Agung, makam Sembah Dalem Kholipah Agung, dan makam Santuwaan Marjaya Suci terletak di ruangan lain. Makam lainnya yang berada di kompleks ini adalah makam Syekh Dora dan makam Sembah Pager Jaya yang terletak di ruang terbuka terpisah dari makam-makam di atas.

Kompleks makam Keramat Godog memiliki cerita yang terkait dengan Prabu Kian Santang atau Syekh Sunan Rohmat. Prabu Kian Santang bersama 2 saudaranya, yaitu Dewi Rara Santang dan walang Sungsang merupakan putra Prabu Siliwangi. Prabu Kian Santang lahir pada tahun 1315 Masehi di Pajajaran yang sekarang Bogor. Pada usia 22 tahun Kian Santang diangkat menjadi Dalem Bogor ke II. Dari kecil sampai usia 33 tahun, di sejagat pulau Jawa belum ada yang menandingi kegagahan dan kesaktian Prabu Kian Santang. Karena merasa tidak memiliki lawan yang sepadan, Prabu Kian Santang meninggalkan kerajaan Pajajaran menuju tanah Mekah untuk bertanding dengan Sayyidina Ali. Di tanah Mekah mereka pun kemudian bertanding, dan ternyata Prabu Kian Santang dapat dikalahkan. Setelah menyerah kalah Kian Santang berganti nama menjadi Galantrang Setra dan kemudian masuk Islam.

Setelah itu Kian Santang pun pulang ke tanah Pajajaran untuk menengok ayah dan saudara-saudaranya. Berhubung Prabu Kian Santang belum bisa menyebarkan agama islam dengan sempurna karena belum menguasai ajaran Islam dengan baik beliau kembali ke kota Mekah. Pada tahun 1362 Masehi Prabu Kian Santang kembali ke tanah Jawa dan kemudian menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa.
Fasilitas wisata yang ada di kompleks ini adalah :
  1. 14 buah kios, 10 terletak di zona fasilitas dan 4 di area makam
  2. tempat parkir di zona fasilitas memiliki daya tampung 15 bus atau 30 mobil permukaan dilapisi semen
  3. 2 toilet umum, 1 di area makam dan 1 di zona fasilitas dengan kondisi cukup
  4. fasilitas informasi sekaligus pos jaga
  5. 1 buah shelter disebut sebagai pesanggrahan berfungsi untuk tempat beristirahat
  6. 4 tempat ibadah, digunakan pengunjung untuk menginap dan dipisah menurut jenis kelamin


Aksesibilitas
Kompleks ini dapat ditempuh melalui angkutan kota trayek Terminal Guntur-Sukawening atau angkutan Kota Terminal Guntur-Karangpawitan sampai ke jalan akses kompleks, dapat juga dilalui oleh ojeg. Jalan akses berjarak ? 4 km, dilanjutkan dengan foothpath berupa tangga sebanyak 53 buah anak tangga.

 Ke halaman sebelumnya